Jumat, 23 April 2010

Kebudayaan Indonesia

1) Kebudayaan itu bisa dilihat dan didefinisikan secara berbeda ketika kita menggunakan acuan pendekatan yang tidak sama: materialisme, behaviorisme, dan ideasional. Pada pandangan materialisme, kebudayaan dilihat pada “materi” , yakni pada produk yang dihasilkan dan karena itu bisa diobservasi. Pada pendekatan behaviarisme, kebudayaan dilihat sebagai pola-pola tindakan. Sementara pada pendekatan ideasional, kebudayaan tidak dilihat dari wujud (produks) atau tindakan yang berpola, tetapi kepada idea atau keseluruhan pengetahuan yang memungkinkan produk dan perilaku yang ditampakkan. Saya sendiri lebih tertarik melihat kebudayaan pada pendekatan ideasional itu. Dari sini lalu, kita bisa mendifinisikan kebudayaan Indonesia adalah serangkaian gagasan dan pengetahuan yang telah diterima oleh masyarakat-masyarakat Indonesia (yang multietnis) itu sebagai pedoman bertingkahlaku dan menghasilkan produks-produk kebudayaan itu sendiri. Hanya persoalannya, ide-ide dan pengetahuan masyarakat-masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan-perubahan, baik karena factor internal maupun eksternal.

(2) Sebelum merdeka, kebudayaan Indonesia disebut sebagai kebudayaan Nusantara, yakni kebudayaan yang hidup dan menjadi serta dijadikan pedoman oleh masyarakat-masyarakat etnik yang ada dan menyebar di berbagai pulau di Nusantara. Kebudayaan-kebudayaan local (etnik) ini – dalam sejarahnya bersentuhan bahkan dipengaruhi oleh peradaban-peradaban besar, seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen. Tingkat pengaruh peradaban-peradaban besar tadi, dalam batas-batas tertentu, pada masing-masing lokalitas masyarakat tidak sama. Kebudayaan masyarakat Bali misalnya, lebih banyak dipengaruhi oleh peradaban (agama) Hindu. Masyarakat-masyarakat (umumnya di daerah pesisir/pantai) yang dalam sejarahnya dikunjungi oleh para pedagang dan sekaligus penyiar Islam, kebudayaannya sangat dipengaruhi oleh peradaban Islam. Suku-suku bangsa yang lain yang kemudian menjadi sasaran missionaries Kristen, kebudayaannya dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Kristiani. Pengaruh-pengaruh peradaban-peradaban besar seperti itu, dalam prosesnya tidak serta merta diterima, tetapi ada perlawanan cultural, meskipun pada akhirnya terjadi penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) sehingga terjadi percampuran. Ini artinya, pada masing-masing masyarakat pemilik kebudayaan (etnik) atau local tadi, tidak dalam satu suara, sehingga pada masing-masing kesatuan masyarakat itu sendiri tidak menunjukkan satu warna budaya. Pada masyarakat Jawa, periode (datang dan menyebarnya Islam) misalnya, menunjukkan gambaran seperti itu, sehingga lahir kelompok-kelompok masyarakat yang lebih mengutamakan peradaban Islam (puritan) dan masyarakat yang lebih bertumpu pada kebudayaan local seperti Kejawen.Pengelompokan masyarakat yang berbeda-beda seperti itu, dalam batas-batas tertentu bisa hidup bersama secara berdampingan, tetapi juga bernuansa konflik (cultural). Konflik seperti ini semakin dikukuhkan ketika memasuki medan kehidupan lain seperti ekonomi, dan politik. Dengan demikian, kebudayaan Indonesia sejatinya adalah kebudayaan multi kultur.

(3) Kebudayaan Indonesia yang multikultur seperti itu, ketika dikaji dari sisi dimensi waktu, dapat dibagi pula pengertiannya.

a. Pertama, kebudayaan (Indonesia) adalah kebudayaan yang sudah terbentuk. Definisi ini mengarah kepada pengertian bahwa kebudayaan Indonesia adalah keseluruhan pengetahuan yang tersosialisasi/internalisasi dari generasi-generasi sebelumnya, yang kemudian digunakan oleh umumnya masyarakat Indonesia sebagai pedoman hidup. Jika dilacak, kebudayaan ini terdokumentasi dalam artefak/atau teks. Melihat kebudayaan dari sisi ini, kita akan mudah terjebak kepada dua hal. Pertama, apa yang sudah ada itu diterima sebagai sesuatu yang sudah baik bahkan paripurna. Ungkapan seperti kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang adiluhung, merupakan contoh terbaiknya. Di sini, apa yang disebut kebudayaan adalah dokumen text (Jawa termasuk sastra-sastra lisan) yang harus dijadikan pedoman kalau kita tidak ingin kehilangan ke-jawa-annya. Ungkapan: “ora Jawa” atau “durung Jawa” adalah ungkapan untuk menilai laku (orang Jawa) yang sudah bergeser dari text tersebut.

b. Kedua, kebudayaan (Indonesia) adalah kebudayaan yang sedang membentuk. Pada definisi kedua ini menjelaskan adanya kesadaran bahwa sebetulnya, tidak pernah (baca: terlalu sedikit) ada masyarakat manapun di dunia ini yang tidak bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban lain, termasuk kebudayaan Indonesia atau kebudayaan Jawa. Hanya saja ada pertanyaan serius untuk memilih definisi kedua ini, yaitu bagaimana lalu kebudayaan kita berdiri tegak untuk mampu menyortir berbagai elemen kebudayaan asing yang cenderung capitalism yang notabene, dalam batas-batas tertentu, negative (baca: tidak cocok)? Pada saat yang sama, kebudayaan global yang kapitalistik itu, telah masuk ke berbagai relung-relung kehidupan masyarakat “tanpa” bisa dicegah. Kalau begitu, pertanyaannya ialah: membatasi, menolak, atau mengambil alih nilai-nilai positif yang ditawarkan. Persoalan seperti ini dulu sudah pernah menjadi perdebatan para ahli kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Armen Pane dkk versus Sutan Takdir Alisyahbana (Lihat pada buku Polemik Kebudayaan), dan sampai sekarang pun sikap kita tidak jelas juntrungnya.

c. Ketiga, adalah kebudayaan (Indonesia) adalah kebudayaan yang direncanakan untuk dibentuk. Ini adalah definisi yang futuristic, yang perlu hadir dan dihadirkan oleh warga bangsa yang menginginkan Indonesia ke depan HARUS LEBIH BAIK. Inilah yang seharusnya menjadi focus kajian serius bagi pemerhati Indonesia, wa bil khusus para mahasiswa dan dosen-dosen ilmu budaya.


(4) Melihat kebudayaan Indonesia dewasa ini dan ke depan adalah menempatkan kebudayaan sebagai piranti kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki keunggulan-keunggulan (competitive) di antara kebudayaan-kebudayaan bangsa lain termasuk kebudayaan global yang bercorak dan berisme kapitalistik itu. Bagaimana caranya? Jawabannya tentu tidak bisa spontan, kecuali kalau kita menyukai segala sesuatu termasuk persoalan yang serius sekalipun dengan jawaban-jawaban instan.

Untuk itu, perubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya, seharusnya para stakeholder yang ada di dalamnya memiliki kesanggupan secara amat serius untuk memulai mengkaji ulang artefak-artefak dan dokumen-dokumen (teks) yang tersebar di Nusantara, menyarikan, membandingkan dengan kebudayaan-kebudayaan di luarnya, dan kemudian menentukan arah kemana kebudayaan masyarakat Indonesia akan dibawa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar